Minggu, 20 Februari 2011

Badan Informasi Dan Survey Minang Community Mengabarkan Bahwa DPP GEMA MINANG Akan Mengadakan MUBES Untuk Kelansungan Ormas GEMA……Akan Tetapi Dari Survey yg Didapat Tidak Adanya Undangan Untuk DPW DPD DPC Seluruh Nusantara Untuk Hadir Hanya Saja Yg Di Undang Sekitar Kepri Saja…….Dan Menuruk Aturan Rapat Itu Di Namakan MUSDA….Dan Kami Minta Dari DPP Untuk Klarifikasi Kata Kata Tersebut Karena Kalau MUSDA Harus Mengundang Gema yg Berada Di Manapun Saja Karena Menyakut Menyeluruh Kalo MUBES tdk Akan Bisa Kalo yg Di UNDANG hanya di Kepri Saja…..Tolong Sekolah Lagi Biar Lebih Jelas Bertanya Ama GURU Biar Dikasih Tahu…..Ingat GEMA Milik Kami kami Juga Karena Kami Ini Muda Mudi Minang……Akan Di Kemanakan Kami Ini……….Kalo Ngak Bisa Gundang Kami jangan Pake Kata MUBES……..Karena Kamipun Akan Bertanya
Ada apakah Gerangan Dan Apa yg Di Perbuat oleh ketua DPP ?.....Hanya Untuk Unjuk Gigi Saja Untuk Publikasi ke Orang Orang yg Mau Naik Jabatan Atau Untuk POLITIK…………Ingat Kalo Tidak Bisa Berbicara Bawalah Juru Bicara Jangan Bawa Bawa MUBES Kalo tidak bisa Undang Kami Di Penjuru Nusantara , Karena kami Ini Adalah Orang Minang Juga Dan Tau Kata Pepatah Minang
    Mungkinkah GEMA di Tungangi Oleh Partai Politik Dan Di Mamfaatkan Oleh Kepentingan Golongan.....Yang Inggin Duduk Di Pemerintahaan yang Tampa Adanya Pembenahan Dalam Segala Aspek yg Mungkin Sangat Merugikan Masyarakat Minang Di Batam Pada Khususnya..........Ingat Bahwa Gema Berdiri Bukan Untuk Motor Kepentingan Politik ataupun Golongan....akan Tetapi GEMA Didirikan Untuk Memberdayakan Generasi Muda Minang  Yg Pada Saat Pendirian Itu IKSB Lagi Mandul Dan Mengalami Keguguran Di Jajaran Pengurusan IKSB Tersebut.......Maka Terlahirlah Suatu Gebrakan Baru Dengan Cara Membangunkan Seluruh Lapisan Minang Untuk Bersatu Dalam Membentuk Persatuan Dan Kesatuan Dengan Cara Ikut serta Dalam Mengatasi Komplit yg Terjadi Pada Th 2000 Dan Juga Salah Satu Dari Pimpinan DPW GEMA SUMBAR Waktu itu Menjabat Sebagai Pengurus Gema Minang Di Batam Nagoya Ikut Serta Dalam Menyusun Massa Yg Pada Waktu Itu  Sedang Mengalami Ketakutan Dan Kecemasan Kapan Komplik Itu Selesai……..Indra Budiman,Ainul Jambak,Alen ,Alek Serta Seluruh Pemuda Yg Berada Di Nagoya Di Kerahkan Supaya Dapat Mengatasi Segala Kemungkinan Terjadi Agar Warga Minang Tidak Di Lecehkan Ataupun Tdk Di Hina Ataupun Direndah Kan Oleh Lawan Komplit Tersebut Dan Dapat Menyelesaikan Secara Damai Dan Kekeluargaan…………..Akan Tetapi Setelah Menjalani Sekian th Gema Minang Batam Bisa Menjadi Ormas Yg Besar Bagi Pemuda Minang yg Diperantauan Pada Khususnya.
Maka Dari Itulah Gema Menjadi Rebutan Dan Menjadi Motor Pengerak Roda Kaum Orang Minang demi Terciptaknya Pesatuan Dan Kesatuan. Jadi Tolonglah Dipikirkan Masa Depan Gema Kalau Inggin Maju Dan Besar Jadikanlah GEMA untuk Swadaya masyarakat yg Mandiri Tampa Adanya Kepentingan Golongan Ataupun POLITIK Karena Kami Tak Mau Setelah GEMA Besar Kami yg Kecil Dianak Tirikan Dan Tak Diundang Dalam Forum Rapat Ataupun Dalam Mengambil Suatu Usul Demi Menjadikan GEMA ini yang terdepan dalam Perjalanan Roda Roda Para Kaum Muda Minang yg Ikut Seta Dalam Pengembangan Ormas Gema
Salah Satu Pengurus Gema Batam Indra Budiman Adalah Generasi Muda yg Kreative Dan mengembangkan Sayap GEMA Ke Daerah Ranah Minang Dan Juga Mendirikan Suatu Komunitas yg Tampa Pandang Ras Bisa Bergabung Dan Sama Sama Membangun Demi Terciptanya Indonesia Yang Perkasa Yg Di Mulai Dari Minang Community……..,.
Biar Lebih Jelas Lagi Minang Community Adalah Suatu Motor GEMA SUMBAR yang Mengakui Adanya DPP Di Batam………Dan Di Sumbar Menjadi DPW Dan Juga Telah Terbentuknya Juga DPD,DPC,PAC……..Semua Itu Tampa Sentuhan Tangan Tangan Para Pimpinan Pusat Yg Banyak Mementingkan Kepentingan Pribadi ,Golongan Dan Politik……..Maka Dari Itu Kami Meminta Para Pimpinan Pusat Sekiranya  Dapat Melihat Kebawah Agar Anda Di Hargai……Tolonglah Hargai Kami Yang Dibawah ini Dan Dapat Di Undang Karena Kalau Inggin Namanya DPP Jangan Hanya Di Batam Aja Di Undang Akan Tetapi Banyak Rekan Rekan yg Berjuang Dalam Pengembangan Roda Roda Organisasi Gema ini
      Pada Saat itu IKSB  Melakukan Suatu Pemilihan Ketua Umun,Akan Tetapi Tidak Ketemu Suatu Kata Mufakat Dan Terjadilah Banyaknya Ketua Ketua Umum IKSB.....Makanya GEMA Berdiri Atas INISATOR Bapak Allmarhum  Oyong………Kami Bangga Sama Bapak Pendiri Dan Perencana Gema yg Tampa Sadar Sekarang Telah Berkembang Di Penjuru Nusantara…………Sekali Lagi Kami Mohon Kepada Seluruh Pengurus DPP Gema Kalau Tak Bisa Berbagi Mendingan Anda Mundur Saja Karena GEMA Inggin Punya Pemimpin yg Bijaksana……Agar Menjadi Luar Biasa………..Anda Buka FB:minangcommunity Begitu Banyaknya Dia Melakukan Kegiatan Tampa Adanya Sentuhan Para Sponsor Dan Tampa Adanya Dukungan Dari Pemerintah Setempat Akan Tetapi Tetap Eksis Dalam Menjalani Roda Roda Organisasi Demi Kemajuan Generasi Muda Minang Dan Jadikan Mereka Itu Sebagai Contoh Untuk Anda Bapak Pimpinan Pusat Gema……Kreasinya Sudah Banyak Di Buat Tampa Adanya Bantuan Bantuan Dari Ormas Minang yg Ada…Akan Tetapi Mereka Tetap Jalan Dan Mengikuti Koridor Aturan AD/RT yg Mereka Pakai Sebagai Acuan Kedepan…Demi Terciptanya SDM Dan Dapat Juga Mengurangi Penganguran…………..Semua yg Dilakukan Minang Community Tdk Lain Adalah Arahan Pengembangan GEMA MINANG  yg Berada Di Sumbar….Agar Bisa Mencapai Targek Pemberdayaan Dalam Segala Bidang Untuk Kelansungan Generasi Muda Minang Pada Khususnya
Badan Survey Minangcommunity Dan Bekerjasama Dengan Seluruh Jajaran Pengurus Gema yg Berada Di Nusantara
Tebusan Publikasi: DPW GEMA SUMBAR

Senin, 14 Februari 2011

Asal Muasal Masuk Tiong Hoa Di Padang

Aktivitas perdagangan etnis Tionghoa dengan penduduk Minangkabau sudah berlangsung sejak abad ke-13. Pelayaran mereka dilakukan dari Tiongkok sampai ke teluk Aden di Asia Barat melalui selat Malaka.

Seiring jalur perdagangan lada dibuka di pantai Barat Sumatera, jumlah etnis Tionghoa yang datang ke Sumatera Barat makin banyak. Mereka menempuh jalur sungai dan jalan setapak untuk mendistribusikan lada dari dataran tinggi menuju pelabuhan di pantai Pariaman, Tiku, Ulakan dan Koto Tengah.

Peraturan pembatasan wilayah bagi penduduk Timur Asing oleh pemerintahan Belanda membuat etnis Tionghoa Sumatera Barat lebih terkonsentrasi di kota di Kota Padang, tepatnya di sekitar sungai Batang Arau, kawasan pecinan Kampung Pondok, Pasar Tanah Kongsi, Kelenteng dan sekitarnya.

Masyarakat Tionghoa Padang pun membentuk organisasi, dengan tujuan melayani kebutuhan anggota dalam bidang sosial dan budaya.

Pada tahun 1863, berdiri organisasi Hook Tek Tong (HTT), yang merupakan perhimpunan kematian dan pemakaman, sekaligus sebagai sarana menghormati leluhur kakek tua Hook Tek Tjeng Sin.

Sampai 1890, karena cukup banyak kesulitan dalam mengurus kebutuhan etnis Tionghoa, dibentuklah perhimpunan atau kongsi baru. Terbentuk organisasi Heng Beng Tong (HBT).

Dua organisasi ini mempunyai tata cara dan ciri berbeda dalam hubungan antar anggotanya. Setiap anggota HBT, misalnya, apapun agamanya, diwajibkan melakukan sembahyang Kwan Tee Koen dan arwah leluhur dengan mengangkat hio. Sementara anggota HTT wajib memenuhi surat panggilan dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemakaman.

Walaupun di beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain, terdapat Yayasan atau organisasi etnis Tionghoa, namun organisasi Tionghoa yang ada di Sumatera Barat bisa dikatakan unik, karena hanya lahir dan ada di Sumatera Barat saja dan tidak terdapat di daerah lain. Dalam organisasi ini juga dirangkul keanggotaan dari semua suku dan marga etnis Tionghoa yang ada. Kelebihan lainnya adalah mereka berhasil mempertahankan budaya asli Tionghoa secara turun temurun seperti upacara pemakaman yang masih dilakukan di masa China kuno. Organisasi pemakaman ini bahkan tercatat sebagai organisasi pemakaman yang pertama hadir di Nusantara.

Terbentuknya organisasi pemakaman ini tak terlepas dari perlunya etnis Tionghoa Padang bergotong royong ketika hendak menguburkan jenasah. Mereka harus membawa peti dari gelondong kayu utuh yang dilubangi ke atas gunung yang menghadap laut. Proses menggotong peti yang beratnya mencapai ratusan kilogram ini harus dilakukan dengan ditandu. Tanpa kerjasama, mustahil sebuah keluarga dapat melakukannya sendiri.

Yang menarik adalah walaupun mereka berhasil mempertahankan identitas budaya mereka, sangat sedikit dari penduduk Tionghoa Padang yang bisa berbahasa Mandarin.

Antara tahun 1900 sampai 1932, ketika banyak organisasi Tionghoa berdiri dengan nuansa politik dua organisasi ini berdiri di garis tengah sebagai organisasi sosial budaya yang tidak beraliansi politik sama sekali.

Tahun 1963, etnis Tionghoa yang beragama Katholik mendirikan perkumpulan Chinese Katholieke Bond. Perkumpulan ini lalu berubah menjadi lintas etnis yang didasarai agama Katholik pada tahun 1964, bernama PSKP Santu Yusuf. Perkumpulan ini juga melayani kebutuhan pemakaman. Berbeda dengan dua organisasi sebelumnya, mereka menerima anggota perempuan.

Di tahun 1993, terbentuk pula organisasi Tionghoa bernuansa Islam yaitu PITI.

Seiring dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru, HTT mengubah namanya menjadi Himpunan Tjinta Teman, sementara HBT menjadi Himpunan Bersatu Teguh.

Setelah reformasi bergulir, organisasi etnis Tionghoa di Padang dan Sumatera Barat kembali menjamur seperti di kota-kota lain di Indonesia.
Badan Informasi Minang Commuity Centre Dan Bekerja Sama Dengan DPW GEMA SUMBAR

Sejarah Kampung China Di Padang

Cina di 1930-an. Pemindahan pedagang dari bagian utara ke selatan terjadi secara besar-besaran. Kaisar Cina saat itu, Tsi Huang Thi, memakarsai pemindahan. Dalam buku Lord of The Rims (Taipan dari Pesisir) karangan Sterling Seagrave, disebutkan empat alasan Kaisar yang berhasil menyatukan daratan Cina itu melakukan tindakan tersebut. Pertama, Tsi takut dengan ilmu suap bapak kandungnya, Perdana Menteri Lu Pei Wei, ikut menyebar pada pedagang yang merupakan pendukung bapaknya. Seperti dikatakan buku tersebut, Tsi adalah anak hubungan gelap antara Perdana Menteri Lu Pei Wei dengan selir Kaisar. Lu menaruh gundik yang sudah hamil menjadi selir Kaisar.

Ketika Tsi baru berumur 10 tahun ia diangkat jadi Kaisar. Lu menjadi Perdana Menteri selama 10 tahun. Dan satu-satunya perdana menteri dari gologan pedagang selama sejarah Cina.

Alasan kedua, Cina Utara terkenal dengan pertanian. Jadi tindakan itu merupakan pembersihan terhadap kaum pedagang. Kemudian, kaisar ingin menumbuhkembangkan populasi orang Cina di Selatan. Alasan terakhir berkaitan dengan pandangan kaum orthodok Confucianisme yang ternyata memandang rendah kaum pedagang, menempatkan kaum pedagang dibawah petani: dengan logika, petani paling tidak masih menghasilkan padi, sedangkan kaum pedagang tidak menghasilkan apa-apa. Kaisar memerintahkan pemindahan kaum pedagang (dan teman-temannya) secara besar-besaran ke daerah selatan yaitu (Fu Jian, Kwang-Tong).

Kaum inilah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia yang diperkirakan mencapai 55 juta orang. Empat persen dari jumlah total seluruh penduduk negeri yang juga dikenal dengan sebutan Tiongkok.

Namun, penyebaran itu merupakan invansi ketiga masyarakat Cina menuju dunia. Gelombang pertama dilakukan oleh Zheng He (Cheng Ho) sekitar enam ratus
tahun yang lalu (National Geographic). Laksamana yang diketahui belakangan beragama Islam, membawa pasukannya menelusuri daerah-daerah selatan. Buku-buku pelajaran sejarah menyebut ia sempat singgah di Jawa dan membuat perjanjian dengan raja dan penduduk setempat.

Penyebaran kedua terjadi saat perang opium melanda Cina pada 1840. Dinasti Qing yang berkuasa mencoba menghentikan opium. Tapi, karena Inggris melihat potensi besar pada perdagangan ini, mereka malah mengirimkan kapal perang sebagai jawaban. Cina kalah dan ditandanganilah perjanjian membolehkan Inggris berdagang candu dan menyerahkan Hongkong dalam pangkuan Ratu Inggris.

Banyak masyarakat Cina yang melarikan diri dari keadaan sengkarut yang melanda negerinya. Mereka menyebar ke daerah asia bagian selatan termasuk asia tenggara. Inilah awal mula teori orang Cina memasuki kawasan Sumatra Barat.

Sudarma, tetua di sana membenarkan hal itu. "Saya memang kelahiran Padang. Sudah setengah abad di Padang. Kakek saya punya orang tua, yang disebut kongconya sudah di Padang. Ibu saya punya orang tua itu dari Tiongkok asli. Jadi umur 12 tahun dia ikut orang tuanya ke Indonesia. Sebenarnya tujuannya bukan ke Indonesia. Tujuannya itu mungkin ke Filipina. Tapi karena diserang badai, terdampar di Bagan Si Api Api. Nah, terus berjalan, akhirnya sampai di Padang, menetap di Padang," ceritanya.

Bisa jadi, orang tua Sudarma merupakan penduduk yang datang pada gelombang kedua. Kebenaran fakta itu bisa diperkuat dengan umur Kelenteng See Hin Kiong yang terletak di Kampung Cina. Dick Halim (80), tetua kaum Cina memperkirakan klenteng dibangun pada sebelum tahun 1860. Bisa jadi karena menurut catatan Erniawati, dosen Universitas Negeri Padang yang juga peneliti masyarakat Cina di Ranah Minang, klenteng pernah terbakar pada 1861. Seorang Mayor Cina yang diangkat oleh Belanda sampai mendatangkan pekerja-pekerja dari Cina untuk kembali membangun rumah suci itu. “Orang Islam kemana pergi juga mencari masjid, kan?” ujar Erniwati.
Teori lain mengatakan Cina Padang berasal dari Pariaman. Ernawati, yang menulis buku Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat, memperkirakan Orang Cina sudah berada di Pariaman pada abad 13. Saat Aceh masuk ke Pariaman.

Tidak mengherankan sebenarnya. Pariaman adalah surga bagi kaum pedagang di zaman itu. Pariaman menjadi pusat dagang di pesisir. Tak heran, pada 1630, Christine Dobbin, penulis buku Gejolak ekonomi dan Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, memperkirakan perkampungan Cina sudah ada di Pariaman.
Sayang, sebuah peristiwa mengenaskan menjadi pemicu hengkangnya orang Cina dari Pariaman. Pada masa pendudukan Jepang, seorang Cina membawa dua anak gadisnya ke kantor Jepang. Penglihatan itu ditanggap lain oleh para pemuda yang kebetulan melihatnya. Bisik-bisik pengkhianat merebak segera. Dua anak gadis itu langsung di bawa ke pantai dan dibelek dengan kangso (alat yang terbuat dari alumunium).
Menurut Erniwati, serangan itu dilakukan tanpa perencanaan. Makanya, alat yang disiapkan bukan senjata tajam biasanya untuk membunuh. “Lagi pula, itu hukuman bagi pengkhianat. Tidak orang Cina saja yang merasakan hukuman itu, pemuka masyarakat yang juga ikut menjadi mata-mata Jepang, mendapat hukuman yang sama.,” ujar sarjana S-2 jurusan Sejarah UNP ini.

Ketakutan merayapi masyarakat Cina. Berangsur-angsur mereka mulai meninggalkan Pariaman. Sampai 1965 beberapa orang Cina masih berdiam di sana. Tapi, memasuki 1967 agak sulit menemukan kaum bermata sipit di Pariaman. “Karena kejadian PKI atau PRRI,” terang Erniawati. Perlahan orang Cina berangur pindah ke Padang. Tepatnya, di kawasan pondok saat ini.

Namun, alasan ekonomi bisa juga dijadikan dasar. Pariaman tidak lagi dianggap ladang yang subur bagi perdagangan mendekati abad ke 19. Sehingga tidak saja pedagang Cina yang meninggalkan, tapi juga pedagang dari daerah lain.

Etika Dagang Landasan Hubungan Minang-Cina
Diperkirakan, ada 12 ribu masyarakat Cina tinggal di Padang. Beratus-ratus marga atau suku yang mendiami. Tapi, hanya delapan suku yang punya rumah pertemuan. Kedelapannya adalah suku Gho, Lie-Kwee, Tan, Ong, Tjoa-Kwa, Lim Hwang dan Kho. Marga Kho merupakan marga terakhir yang membangun rumah pertemuan. “Marga yang lain sedikit jumlahnya. Jadi tidak membangun rumah pertemuan,” ujar Hanura Rusli dari Keluarga Lie-Kwee. Lie-Kwee saat ini mempunyai anggota 600 orang. Semuanya berumur di atas 17 tahun.

Sesuai namanya, rumah pertemuan memang digunakan untuk mengadakan acara-acara yang melibatkan satu keluarga. Misalnya pada Imlek (tahun baru Cina), Cap Go Meh (hari ke 15 dari perayaan imlek), Kio, Sipasan atau Pek Chun (hari raya yang memperingati puncak musim panas). Bahkan, pada ulang tahun ke 140, keluarga Lie-Kwee berencana mengundang seluruh suku Lie-Kwee yang berada di Indonesia. “Tapi, itu tiga tahun lagi,” ujar Lie Kian Guan sekretaris sekretaris himpunan keluarga Lie-Kwee.
Kekerabatan memang menjadi nomor satu bagi orang Cina. Dan seperti “adat” orang Asia Tengah (Jepang dan Korea), mereka sangat menjaga martabat keluarga. Apabila memalukan, bunuh diri atau dibuang dari keluarga merupakan hukuman yang pantas. “Di Medan, misalnya banyak yang tidak lagi diakui keluarga, sampai-sampai dibuatkan iklannya di koran, karena mencoreng aib keluarga besar, “ terang Hanura.

Mereka sangat menghormati leluhur. Ini merupakan sikap dasar bagi orang Cina. “Ini dipengaruhi oleh ajaran Confunsius dan Tao yang melekat pada setiap orang Cina,’ ujar Erniwati.

Satu lagi sikap orang Cina adalah sering melakukan pendekatan kepada penguasa. Di zaman Belanda mereka dianggap warga kelas dua. Sedangkan pribumi kelas tiga. Begitu juga di zaman jepang dan Soekarno. Mereka mendapatkan kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang bahkan pribumi sekalipun.

Hanya di zaman Soeharto, keran kebebasan orang Cina berdagang sedikit dibatasi dalam pandangan mata masyarakat. Sebab, beberapa orangCina menjadi pengusaha sukses seperti Liem Sio Liong (???), pemilik Bank BCA.

Pada zaman Belanda dan Soekarno mereka ditempatkan dengan satu tujuan, ekonomi. Belanda memukimkan mereka bersama kawasan Belanda, seperti di kawasan Kampuang Cino agar bisa diawasi dalam mengawasi perdagangan mereka. Begitu juga Soekarno, mereka di ‘bekap” dalam satu tempat dan hanya dibolehkan berdagang.

Hal ini, menurut Hanura, ada untung ruginya. Pada satu sisi mereka tercukupi secara ekonomi, tapi di sisi lain mereka tidak bisa memberikan sumbangan dalam bidang lain. “Berapa orang PNS yang keturunan Cina?” tanyanya.

Kecemburuan pun menguasai pribumi melihat keberhasilan mereka dalam berdagang. Tak heran, apabila ada kerusuhan, orang Cina jadi sasaran seperti peristiwa 1998. “Padahal tidak semua orang Cina kaya. Lihatlah di pasar Tanah Kongsi,” kata Hanura.
Namun, di Padang benturan keras antar etnis Minang dan Cina tidak terjadi atau tidak sebesar kota lain. Menurut Erniwati, hubungan unik terjadi antara keduanya.
Sebagai sesama suku yang kuat berdagang dan punya budaya serta religi yang kuat, mestinya benturan sering terjadi. “Sepertinya, etika dagang membuat keduanya saling menghormati,” terang Erniwati.

Etika dagang yang membuat kedua suku berada dalam posisi teman. Sepertinya wilayah dagang dibagi dua saja. Dagang tingkat nasional dikuasai orang Minang serta untuk wilayah internasional, Cina lah yang menjadi penguasa.

99% tak Bisa Bahasa Cina
Lepas dari masa Soeharto, orang Cina menjadi lebih leluasa. Tekanan pemerintah jauh berkurang. Orang Cina lebih dibebaskan dalam menjalankan ibadah dan budaya. Tak heran Imlek atau Cap Go Meh terasa lebih meriah dari tahun ke tahun. “Yang paling menarik itu acara Sipasan. Pada Cap Go Meh kali ini pertunjukan Sipasan akan berlangsung paling meriah karena Sipasan panjang, “ tutur Xin Xui yang berdagang di depan HBT.

Meski begitu, alkulturasi diam-diam telah berlangsung. Jauh sebelum orang Cina menarik nafas lebih lega.

‘Buktinya, 99% orang Cina yang tinggal di sini tidak bisa lagi bahasa Cina,” kata Hanura. Jarak yang jauh dari tanah nenek moyang, serta memori yang terbatas membuat pelan-pelan budaya Cina mulai terlupakan. Banyak penduduk di Pecinan Padang terkaget-kaget ketika Erniwati menyebutkan tradisi-tradisi Cina yang sama sekali tidak pernah didengar. Bahasa yang dimunculkan pun terkesan lucu. Pasar Tanah Kongsi bisa jadi saksi alkulturasi bahasa. Jika berada di sana, bahasa Melayu-Tionghoa terdengar di sana-sini. Pigi mana lu (mau kemana), kecik telok gedang (air kecil telur besar, sejenis ungkapan), nya ndak mau o (ia tidak mau), misalnya.
Untuk menipiskan jarak, upacara-upacara, peringatan-peringatan keagamaan diusahakan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Walau untuk itu hanya menuliskan huruf-huruf Cina tanpa mengerti artinya. “Ndak tau ambo, do,” kata Hanura ketika ditanya maksud tulisan yang tertera di lampion.

Saat diwawancarai Hanura sedang mempersiapkan acara perarakan kio pada kamis (5/2) lalu. Sebuah acara berbau mistis seperti dabuih di Pesisir. Tujuannya pada leluhur. Kio diarak menuju rumah-rumah marga yang lain. “Untuk silaturahmi,” ujar Arif Rusdi Rusli, Jiko (wakil) dari keluarga Lie dan Kwee.

Selain itu, Sipasan menjadi kesenian unik di Kampung Cina. Bahkan menurut Hanura, kesenian tidak dijumpai di pecinan lain di Indonesia.

Sewaktu hari Ibu, masyarakat Cina mengadakan lomba unik. Lomba memakai baju marapulai minangkabau. Beragam pula variasinya. Ada pakaian pengantin Sawahlunto, Bukittinggi, Payakumbuh,” ujar Hanura yang kebetulan mendapat pakaian pengantin dari Padang.

Dari situ juga ia baru tahu bahwa secara budaya ada persamaan yang sangat kentara antara budaya Minang dengan Cina. “Terutama pakaian pengantin. Dan kata telong dalam sebuah pantun punya kemiripan dengan tenglong (lampion).”
Erniwati membenarkan kemiripan itu walau menyebut hal ini agak sensitif untuk masyarakat Minang.

Perubahan lain yang nampak adalah orang Cina sekarang tidak lagi tertutup untuk menerima anggota dari luar etnis. Bahkan, banyak pemain liong atau barongsai berkulit coklat. “Bahkan ada yang Islam,” terang Hanura.

Tak heran kalau ada acara barongsai, tidak semua pemainnya berkulit kuning. Mata belo juga muncul begitu kepala bermunculan dari balik barongsai.
Tidak bisa diraba kapan “musim semi” ini akan berakhir. Erniwati yakin bahwa masyarakat Cina di Padang tidak akan mendapat gangguan secara politis dan tekanan yang berlebihan dari etnis Minangkabau. (Yusrizal KW/Andika Destika Khagen/S.Metron M/Esha Tegar Putra/Gus RY) dari Koran Harian Padang Ekpres
Di Terbitkan Oleh Badan Informasi MinangCommunity Centre Dan Di Sahkan Oleh DPW GEMA SUMBAR
Di  Dukung Oleh DPP GEMA MINANG BATAM

GENERASI MUDA MINANG SUMBAR ~ Minang Community

GENERASI MUDA MINANG SUMBAR ~ Minang Community

Minggu, 13 Februari 2011

Minangkabau dalam Lintasan Sejarah

                            oleh Gema Minang pada 29 Desember 2010

Sejak abad ke 13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami rangkaian goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah mempengaruhi sistem nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat Minangkabau yang berbasis nagari. Agama Hindu-Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-kerajaan Minangkabau lama selama berabad-abad sejak abad ke 13 tersebut tidak banyak berpengaruh kepada masyarakat Minangkabau, yang tetap berpegang pada adat Minangkabau, yang berpedoman pada ajaran alam takambang jadi guru.



Berbeda dengan agama Hindu Budha tersebut, agama Islam yang masuk dalam abad ke 16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat Minangkabau, dan tumbuh sebagai faktor yang paling penting dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan Minangkabau dalam

abad-abad sesudahnya. Namun, pada mulanya ada perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dan agama Islam – khususnya dalam masalah hukum kekerabatan dan hukum waris — telah menyebabkan timbulnya serangkaian masalah dalam hukum perdata, yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum serta kelembagaan sosial. Oleh karena masyarakat Minangkabau tidak mempunyai tatanan kelembagaan di atas tingkat nagari, maka rangkaian goncangan dan perubahan sosial tersebut hanya diselesaikan secara setempat-setempat, dan belum pernah dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan terencana.



Abad ke 19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi campur tangan kaum

kolonialis Hindia Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang sama-sama menganut agama Islam.

Istilah ‘kesepakatan bersama’ dirasakan lebih tepat dibandingkan dengan istilah ‘ketetapan’, oleh karena sesuai dengan prinsip
‘duduk sama rendah tegak sama tinggi’ yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Istilah ‘kebudayaan Minangkabau’ merujuk kepada keseluruhan cara hidup orang Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa

di antara 1.072 suku bangsa Indonesia menurut data Sensus Nasional Tahun 2000. Keanekaragaman suku bangsa Indonesia selain diakui
dalam sesanti Lambang Negara, juga diakui oleh Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945.

Ulasan mengenai ABS SBK dalam Kesepakatan Bersama ini diusahakan bersifat menyeluruh dan dapat ditindaklanjuti, sehingga

mencakup bukan hanya ajaran yang betsifat normatif, tetapi juga lembaga-lembaga yang melaksanakan ajaran tersebut, perilaku manusia
yang menganut ajaran tersebut, serta kebijakan lebih lanjut yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Sebuah ulasan singkat padat tentang sejarah konsep ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’ ini dapat dilihat dalam
Gusti Asnan, 2003, kamus Sejarah Minangkabau, PPIM, Padang, halaman 8-10.

Frasa ‘syarak mangato adat mamakai’ ini selain terdapat dalam berbagai buku tentang pepatah petitih adat Minangkabau, juga

tercantum dictum Kedua dalam Ketetapan Musyawarah Besar IX LKAAM Sumatera Barat Nomor TAP-10/MUBES/ IX LKAAM/SB/VI/2005
Tanggal 5 Juni 2005 Tentang Aplikasi Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.

‘Ranah’ menunjuk kepada Provinsi Sumatera Barat, sedangkan ‘Rantau’ menunjuk kepada daerah-daerah perantauan suku
bangsa Minangkabau, baik di Indonesia, maupun di luar negeri.

Sebagai warga negara, masyarakat Minangkabau mempunyai hak untuk menikmati hak dan perlindungan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan wajib tunduk pada dasar Negara serta hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagian ini perlu dicantumkan sebagai latar belakang sejarah, untuk memahami posisi ABS SBK dalam masyarakat Minangkabau
yang mengalami berkali-kali gelombang perubahan.



Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusul oleh perang saudara yang dahsyat antara tahun 1803-1821, yang disusul oleh Perang Minangkabau antara tahun 1821- 1838 untuk menghadapi balatentara kolonial Hindia Belanda, pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan Ajaran Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS SBK) – yang kemudian dilengkapi dengan ‘Alam Takambang Jadi Guru — sebagai nilai dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa Tuanku Imam Bonjol ini kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukit Marapalam pada tahun 1837 di Bukit Pato, Lintau,

dekat Batu Sangkar.

Oleh karena kemudian seluruh Minangkabau dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang melancarkan politik adu domba dan politik tanam paksa, yang disusul oleh dua kali Perang Dunia, dua kali Perang Kemerdekaan, serta rangkaian konflik dalam negeri yang berkepanjangan, Nilai Dasar dan Ajaran Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah tersebut belum sempat terhimpun dan disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama oleh masyarakat Minangkabau.



Pada abad ke 20, masyarakat Minangkabau telah aktif ikut serta, baik dalam pergerakan kemerdekaan nasional, dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, maupun dalam pembelaan negara menghadapi ancaman dari dalam dan dari luar negeri. Baik sistem hukum nasional maupun instrumen hukum internasional hak asasi manusia pada dasarnya menghormati, melindungi, memfasilitasi, dan memenuhi hak suku bangsa dan masyarakat hukum adat. Pengakuan konstitusional terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia ini tercantum dalam sesanti ‘Bhinneka Tunggal Ika’pada Lambang Negara.

Masyarakat Minangkabau memperhatikan dengan sungguh-sungguh berbagai masalah nasional yang dihadapi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam abad ke 21 ini, dan sangat prihatin dengan kenyataan bahwa walaupun telah 65 tahun berada dalam alam kemerdekaan, dan walaupun telah lebih dari sepuluh tahun mengadakan reformasi, namun dua tujuan nasional dan empat tugas pemerintahan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masih belum tercapai dengan memuaskan. Masih diperlukan kelanjutan reformasi dalam berbagai bidang, secara lebih terarah, terencana, terorganisasi, serta terkendali, baik pada tingkat nasional, tingkat daerah, serta pada tingkat lokal.

Baik untuk mengadakan konsolidasi ke dalam, maupun untuk mempersiapkan diri, memanfaatkan peluang, menjawab tantangan, dan menunaikan kewajiban sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila, dipandang perlu untuk menetapkan secara formal Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai jati diri dan identitas kultural suku bangsa dan

masyarakat hukum adat Minangkabau serta mengembangkan aspek kelembagaan, norma etika, serta dasar-dasar kebijakan dalam tindaklanjutnya.



TANTANGAN, PELUANG, RUJUKAN, DAN GAGASAN

MENIMBANG :
Masyarakat Minangkabau telah berkembang dari bentuk nagari-nagari yang berdiri sendiri-sendiri dengan Adat nan Salingka Nagari, menjadi bagian menyeluruh dari Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga merupakan bagian dari dunia baru yang meliputi seluruh umat manusia yang berkembang dengan amat dinamis.
Dalam perkembangan nagari ini, agama Islam telah menjadi satu-satunya landasan keimanan, ketakwaaan dalam kerangka persatuan bagi seluruh warga masyarakat nagari, yang sebelum itu selain berdiri sendiri-sendiri, jugatidak jarang saling berperang satu sama lain.
Pengalaman menunjukkan bahwa walaupun seluruh masyarakat Minangkabau secara rohaniah mematuhi lima Rukun Islam dan enam Rukun Iman, namun masih bersilang pendapat mengenai masalah-masalah muamalah, yang perlu dibenahi dan dikonsolidasikan secara mendasar, terencana, melembaga, dan berkesinambungan.
Silang pendapat mengenai masalah-masalah muamalah tersebut di atas telah menyebabkan terjadi sengketa berkepanjangan dalam suku dan dalam keluarga, khususnya mengenai harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, dan batas wilayah antar Nagari, yang tidak jarang berujung pada sengketa di pengadilan negeri, sampai kasasi ke tingkat Mahkamah Agung RI.
Secara lambat laun, masyarakat Minangkabau yang telah berkembang ini terbagi dalam dua bagian besar, yaitu masyarakat Minangkabau yang tetap bermukim di Ranah Minang yang umumnya mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian yang masih tetap terkait erat dengan adat sebagai hukum tak terulis dan sebagian kecil mempunyai mata pencaharian dalam bidang perdagangan dan jasa; dan masyarakat Minangkabau yang sudah bermukim di daerah Rantau, yang hampir secara menyeluruh mempunyai mata pencaharian dalam bidang perdagangan, jasa, dan industri yang lebih terbuka untuk pengaruh kebudayaan nasional dan global.
Hubungan antara dua bagian besar dari masyarakat Minangkabau yang telah berkembang tersebut – yang dapat disebut sebagai Minangranah dan Minangrantau – belum sempat ditata secara melembaga sebagai landasan untuk kerjasama yang saling mendukung.

Suatu masalah yang sangat merisaukan dalam dasawarsa terakhir ini adalah sangat sedikitnya komunikasi, susahnya memupuk rasa
kebersamaan dan merenggangnya rasa persatuan dikalangan masyarakat Minangkabau. antara berbagai golongan yang ada dalam masyarakat Minangkabau, yang merupakan hambatan utama dalam merancang dan menindaklanjuti kerjasama antara sesama warga Minangkabau.
Namun bila dipandang dari sisi sejarah dan kebudayaan, masyarakat Minangkabau mempunyai hubungan persaudaraan dengan masyarakat suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, antara lain dengan anak jameu di Aceh Selatan, masyarakat Mandailing di Tapanuli Selatan, masyarakat Melayu Riau di Riau, masyarakat Pucuak Jambi Sambilan Lurah di Jambi, dan suku bangsa Bugis Makassar di Indonesia, serta dengan masyarakat kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia.
Antara tahun 1347 sampai tahun 1378 berperan raja Adityawarman di Minangkabau, yang selain secara pribadi mempunyai hubungan darah dengan ibunya seorang putri Minangkabau dan bapaknya seorang petinggi kerajaan Majapahit juga telah menerapkan struktur pemerintahan Majapahit dalam kerajaannya, yang secara tidak langsung berpengaruh kepada sebagian masyarakat Minangkabau di bekas daerah pengaruhnya. Dalam tatanan ini terdapat lembaga Basa Ampek Balai, Langgam nan Tujuah, Tanjuang nan Ampek, dan Lubuak nan Tigo. Sejak tahun 1451 Istano Basa Pagaruyung telah dipimpin oleh 23 orang sultan yang beragama Islam, dan pada saat ini diperkirakan berjumlah 2.000-3.000 orang kerabat, yang hidup tersebar di berbagai daerah. Menurut catatan, struktur pemerintahan kerajaan adat terdiri dari 56 kerajaan di daerah-daerah, yang disebut sebagai sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, timbang pacahan.
Baik dalam jumlah maupun dalam gaya hidup, secara lambat laun masyarakat Minangkabau yang bermukim di Ranah Minang dan di Rantau tersebut di atas sudah berada dalam kedudukan setara.
Masyarakat Minangkabau yang telah berkembang tersebut belum sempat mengadakan konsolidasi ke dalam setelah mengalami rangkaian perobahan sosial yang dahsyat dari tatanan sosial tingkat nagari menuju tatanan baru pada tingkat nasional dan global.
Konsolidasi ke dalam antara masyarakat Minangkabau yang bermukim di Ranah Minang dan berbasis nagari dan masyarakat Minangkabau yang bermukim di Rantau, dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kemutlakan, oleh karena seluruh masyarakat Minangkabau merupakan satu suku bangsa dengan identitas kultural dan jati diri yang pada dasarnya adalah sama.
Belum selesainya konsolidasi ke dalam tersebut selain telah menimbulkan sengketa berkepanjangan mengenai hubungan kekerabatan dan harta pusaka, juga telah menyebabkan menurunnya mutu pengelolaan kaum, suku dan nagari pada khususnya, serta terjadinya kemunduran suku bangsa Minangkabau, yang pada umumnya sangat merugikan posisi masyarakat Minangkabau secara menyeluruh.

Generasi muda Minangkabau — yang lahir dan menjadi dewasa dalam kurun perubahan yang amat cepat serta dalam suasana belum terkonsolidasinya sistem nilai serta lembaga-lembaga adat dan agama tersebut – selama ini tidak memperoleh pendidikan yang teratur secara melembaga tentang warisan budaya yang terbaik dari sejarah masa lampau Minangkabau, dan telah menunjukkan gejala kehilangan pegangan hidup dan terombangambing oleh berbagai pengaruh dari luar yang tidak seluruhnya bermanfaat
bagi diri mereka serta bagi masa depannya.
Sambil memanfaatkan peluang yang terbuka dari kehidupan berbangsa dan bernegara serta berdunia tersebut di atas, perlu diadakan konsolidasi ke dalam dan diteguhkan jati diri serta identitas kultural Minangkabau sebagai norma moral dan etika sosial kolektif bagi seluruh warga masyarakat Minangkabau, baik yang bermukim di Ranah Minang maupun yang bermukim di Rantau.
Rumusan jati diri dan identitas kultural Minangkabau yang sudah disepakati adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru yang tumbuh, berkembang, dan memasyarakat dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan Minangkabau.
Pengalaman menunjukkan, antara lain di Kabupaten Agam, bahwa ajaran dan moral Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, dapat dijabarkan, ditindaklanjuti, serta diamalkan secara kreatif dalam bidang ekonomi (Baitul Mal wa Tamwil), khususnya untuk memberantas kemiskinan di nagari-nagari.
Demi kepastian rujukan dan sebagai bahan pendidikan kepada generasi muda Minangkabau, serta sebagai pernyataan resmi ke dunia luar, rumusan jati diri serta identitas kultural yang sudah disepakati tersebut perlu dituliskan secara lugas, lengkap, dan mudah difahami, serta disosialisasikan melalui pendidikan kebudayaan secara terus menerus.
Untuk menindaklanjuti pembinaan jati diri serta identitas kultural Minangkabau tersebut di atas, perlu dibentuk sebuah lembaga musyawarah kepemimpinan sosial Minangkabau dengan nama Forum Adat dan Syarak, atau Forum Tungku Tigo Sajarangan
Peneguhan jati diri serta identitas kultural Minangkabau serta pembentukan Forum Adat dan Syarak / Forum Tungku Tigo Sajarangan
tersebut perlu dilakukan dalam bentuk Kesepakatan Kongres Kebudayaan Minangkabau.

MENGINGAT :
Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3), Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tanggal 9 November 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang [Tanah Ulayat].
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.
Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat.
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor …Tahun …Tentang Tanah Ulayat.

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kerjasama Pemerintah Daerah Sumatera Barat dengan Perantau
Minangkabau.
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 08 Tahun 1984 Tentang Pedoman Acara Penyelesaian Sengketa Adat di Lingkungan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat Nomor W.3.DA.04.02-3633 Tanggal 27 Mei 1985 tentang penyelesaian sengketa pusako tinggi agar dilakukan terlebih dahulu melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.
gema minang dirancang pada tahun : 1997.....di akui gema minang dimasyarakat pada tgl.27 NOVEMBER 1999 DAN DIJADIKAN SEBAGAI HARI LAHIRNYA GEMA MINANG.
Badan Informasi Minangcommunity Centre Padang Dan Kutipan Dari DPP GEMA BATAM