Minggu, 13 Februari 2011

Minangkabau dalam Lintasan Sejarah

                            oleh Gema Minang pada 29 Desember 2010

Sejak abad ke 13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami rangkaian goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah mempengaruhi sistem nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat Minangkabau yang berbasis nagari. Agama Hindu-Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-kerajaan Minangkabau lama selama berabad-abad sejak abad ke 13 tersebut tidak banyak berpengaruh kepada masyarakat Minangkabau, yang tetap berpegang pada adat Minangkabau, yang berpedoman pada ajaran alam takambang jadi guru.



Berbeda dengan agama Hindu Budha tersebut, agama Islam yang masuk dalam abad ke 16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat Minangkabau, dan tumbuh sebagai faktor yang paling penting dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan Minangkabau dalam

abad-abad sesudahnya. Namun, pada mulanya ada perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dan agama Islam – khususnya dalam masalah hukum kekerabatan dan hukum waris — telah menyebabkan timbulnya serangkaian masalah dalam hukum perdata, yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum serta kelembagaan sosial. Oleh karena masyarakat Minangkabau tidak mempunyai tatanan kelembagaan di atas tingkat nagari, maka rangkaian goncangan dan perubahan sosial tersebut hanya diselesaikan secara setempat-setempat, dan belum pernah dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan terencana.



Abad ke 19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi campur tangan kaum

kolonialis Hindia Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang sama-sama menganut agama Islam.

Istilah ‘kesepakatan bersama’ dirasakan lebih tepat dibandingkan dengan istilah ‘ketetapan’, oleh karena sesuai dengan prinsip
‘duduk sama rendah tegak sama tinggi’ yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Istilah ‘kebudayaan Minangkabau’ merujuk kepada keseluruhan cara hidup orang Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa

di antara 1.072 suku bangsa Indonesia menurut data Sensus Nasional Tahun 2000. Keanekaragaman suku bangsa Indonesia selain diakui
dalam sesanti Lambang Negara, juga diakui oleh Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945.

Ulasan mengenai ABS SBK dalam Kesepakatan Bersama ini diusahakan bersifat menyeluruh dan dapat ditindaklanjuti, sehingga

mencakup bukan hanya ajaran yang betsifat normatif, tetapi juga lembaga-lembaga yang melaksanakan ajaran tersebut, perilaku manusia
yang menganut ajaran tersebut, serta kebijakan lebih lanjut yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Sebuah ulasan singkat padat tentang sejarah konsep ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’ ini dapat dilihat dalam
Gusti Asnan, 2003, kamus Sejarah Minangkabau, PPIM, Padang, halaman 8-10.

Frasa ‘syarak mangato adat mamakai’ ini selain terdapat dalam berbagai buku tentang pepatah petitih adat Minangkabau, juga

tercantum dictum Kedua dalam Ketetapan Musyawarah Besar IX LKAAM Sumatera Barat Nomor TAP-10/MUBES/ IX LKAAM/SB/VI/2005
Tanggal 5 Juni 2005 Tentang Aplikasi Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.

‘Ranah’ menunjuk kepada Provinsi Sumatera Barat, sedangkan ‘Rantau’ menunjuk kepada daerah-daerah perantauan suku
bangsa Minangkabau, baik di Indonesia, maupun di luar negeri.

Sebagai warga negara, masyarakat Minangkabau mempunyai hak untuk menikmati hak dan perlindungan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan wajib tunduk pada dasar Negara serta hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagian ini perlu dicantumkan sebagai latar belakang sejarah, untuk memahami posisi ABS SBK dalam masyarakat Minangkabau
yang mengalami berkali-kali gelombang perubahan.



Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusul oleh perang saudara yang dahsyat antara tahun 1803-1821, yang disusul oleh Perang Minangkabau antara tahun 1821- 1838 untuk menghadapi balatentara kolonial Hindia Belanda, pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan Ajaran Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS SBK) – yang kemudian dilengkapi dengan ‘Alam Takambang Jadi Guru — sebagai nilai dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa Tuanku Imam Bonjol ini kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukit Marapalam pada tahun 1837 di Bukit Pato, Lintau,

dekat Batu Sangkar.

Oleh karena kemudian seluruh Minangkabau dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang melancarkan politik adu domba dan politik tanam paksa, yang disusul oleh dua kali Perang Dunia, dua kali Perang Kemerdekaan, serta rangkaian konflik dalam negeri yang berkepanjangan, Nilai Dasar dan Ajaran Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah tersebut belum sempat terhimpun dan disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama oleh masyarakat Minangkabau.



Pada abad ke 20, masyarakat Minangkabau telah aktif ikut serta, baik dalam pergerakan kemerdekaan nasional, dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, maupun dalam pembelaan negara menghadapi ancaman dari dalam dan dari luar negeri. Baik sistem hukum nasional maupun instrumen hukum internasional hak asasi manusia pada dasarnya menghormati, melindungi, memfasilitasi, dan memenuhi hak suku bangsa dan masyarakat hukum adat. Pengakuan konstitusional terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia ini tercantum dalam sesanti ‘Bhinneka Tunggal Ika’pada Lambang Negara.

Masyarakat Minangkabau memperhatikan dengan sungguh-sungguh berbagai masalah nasional yang dihadapi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam abad ke 21 ini, dan sangat prihatin dengan kenyataan bahwa walaupun telah 65 tahun berada dalam alam kemerdekaan, dan walaupun telah lebih dari sepuluh tahun mengadakan reformasi, namun dua tujuan nasional dan empat tugas pemerintahan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masih belum tercapai dengan memuaskan. Masih diperlukan kelanjutan reformasi dalam berbagai bidang, secara lebih terarah, terencana, terorganisasi, serta terkendali, baik pada tingkat nasional, tingkat daerah, serta pada tingkat lokal.

Baik untuk mengadakan konsolidasi ke dalam, maupun untuk mempersiapkan diri, memanfaatkan peluang, menjawab tantangan, dan menunaikan kewajiban sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila, dipandang perlu untuk menetapkan secara formal Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai jati diri dan identitas kultural suku bangsa dan

masyarakat hukum adat Minangkabau serta mengembangkan aspek kelembagaan, norma etika, serta dasar-dasar kebijakan dalam tindaklanjutnya.



TANTANGAN, PELUANG, RUJUKAN, DAN GAGASAN

MENIMBANG :
Masyarakat Minangkabau telah berkembang dari bentuk nagari-nagari yang berdiri sendiri-sendiri dengan Adat nan Salingka Nagari, menjadi bagian menyeluruh dari Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga merupakan bagian dari dunia baru yang meliputi seluruh umat manusia yang berkembang dengan amat dinamis.
Dalam perkembangan nagari ini, agama Islam telah menjadi satu-satunya landasan keimanan, ketakwaaan dalam kerangka persatuan bagi seluruh warga masyarakat nagari, yang sebelum itu selain berdiri sendiri-sendiri, jugatidak jarang saling berperang satu sama lain.
Pengalaman menunjukkan bahwa walaupun seluruh masyarakat Minangkabau secara rohaniah mematuhi lima Rukun Islam dan enam Rukun Iman, namun masih bersilang pendapat mengenai masalah-masalah muamalah, yang perlu dibenahi dan dikonsolidasikan secara mendasar, terencana, melembaga, dan berkesinambungan.
Silang pendapat mengenai masalah-masalah muamalah tersebut di atas telah menyebabkan terjadi sengketa berkepanjangan dalam suku dan dalam keluarga, khususnya mengenai harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, dan batas wilayah antar Nagari, yang tidak jarang berujung pada sengketa di pengadilan negeri, sampai kasasi ke tingkat Mahkamah Agung RI.
Secara lambat laun, masyarakat Minangkabau yang telah berkembang ini terbagi dalam dua bagian besar, yaitu masyarakat Minangkabau yang tetap bermukim di Ranah Minang yang umumnya mempunyai mata pencaharian dalam bidang pertanian yang masih tetap terkait erat dengan adat sebagai hukum tak terulis dan sebagian kecil mempunyai mata pencaharian dalam bidang perdagangan dan jasa; dan masyarakat Minangkabau yang sudah bermukim di daerah Rantau, yang hampir secara menyeluruh mempunyai mata pencaharian dalam bidang perdagangan, jasa, dan industri yang lebih terbuka untuk pengaruh kebudayaan nasional dan global.
Hubungan antara dua bagian besar dari masyarakat Minangkabau yang telah berkembang tersebut – yang dapat disebut sebagai Minangranah dan Minangrantau – belum sempat ditata secara melembaga sebagai landasan untuk kerjasama yang saling mendukung.

Suatu masalah yang sangat merisaukan dalam dasawarsa terakhir ini adalah sangat sedikitnya komunikasi, susahnya memupuk rasa
kebersamaan dan merenggangnya rasa persatuan dikalangan masyarakat Minangkabau. antara berbagai golongan yang ada dalam masyarakat Minangkabau, yang merupakan hambatan utama dalam merancang dan menindaklanjuti kerjasama antara sesama warga Minangkabau.
Namun bila dipandang dari sisi sejarah dan kebudayaan, masyarakat Minangkabau mempunyai hubungan persaudaraan dengan masyarakat suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, antara lain dengan anak jameu di Aceh Selatan, masyarakat Mandailing di Tapanuli Selatan, masyarakat Melayu Riau di Riau, masyarakat Pucuak Jambi Sambilan Lurah di Jambi, dan suku bangsa Bugis Makassar di Indonesia, serta dengan masyarakat kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia.
Antara tahun 1347 sampai tahun 1378 berperan raja Adityawarman di Minangkabau, yang selain secara pribadi mempunyai hubungan darah dengan ibunya seorang putri Minangkabau dan bapaknya seorang petinggi kerajaan Majapahit juga telah menerapkan struktur pemerintahan Majapahit dalam kerajaannya, yang secara tidak langsung berpengaruh kepada sebagian masyarakat Minangkabau di bekas daerah pengaruhnya. Dalam tatanan ini terdapat lembaga Basa Ampek Balai, Langgam nan Tujuah, Tanjuang nan Ampek, dan Lubuak nan Tigo. Sejak tahun 1451 Istano Basa Pagaruyung telah dipimpin oleh 23 orang sultan yang beragama Islam, dan pada saat ini diperkirakan berjumlah 2.000-3.000 orang kerabat, yang hidup tersebar di berbagai daerah. Menurut catatan, struktur pemerintahan kerajaan adat terdiri dari 56 kerajaan di daerah-daerah, yang disebut sebagai sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, timbang pacahan.
Baik dalam jumlah maupun dalam gaya hidup, secara lambat laun masyarakat Minangkabau yang bermukim di Ranah Minang dan di Rantau tersebut di atas sudah berada dalam kedudukan setara.
Masyarakat Minangkabau yang telah berkembang tersebut belum sempat mengadakan konsolidasi ke dalam setelah mengalami rangkaian perobahan sosial yang dahsyat dari tatanan sosial tingkat nagari menuju tatanan baru pada tingkat nasional dan global.
Konsolidasi ke dalam antara masyarakat Minangkabau yang bermukim di Ranah Minang dan berbasis nagari dan masyarakat Minangkabau yang bermukim di Rantau, dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kemutlakan, oleh karena seluruh masyarakat Minangkabau merupakan satu suku bangsa dengan identitas kultural dan jati diri yang pada dasarnya adalah sama.
Belum selesainya konsolidasi ke dalam tersebut selain telah menimbulkan sengketa berkepanjangan mengenai hubungan kekerabatan dan harta pusaka, juga telah menyebabkan menurunnya mutu pengelolaan kaum, suku dan nagari pada khususnya, serta terjadinya kemunduran suku bangsa Minangkabau, yang pada umumnya sangat merugikan posisi masyarakat Minangkabau secara menyeluruh.

Generasi muda Minangkabau — yang lahir dan menjadi dewasa dalam kurun perubahan yang amat cepat serta dalam suasana belum terkonsolidasinya sistem nilai serta lembaga-lembaga adat dan agama tersebut – selama ini tidak memperoleh pendidikan yang teratur secara melembaga tentang warisan budaya yang terbaik dari sejarah masa lampau Minangkabau, dan telah menunjukkan gejala kehilangan pegangan hidup dan terombangambing oleh berbagai pengaruh dari luar yang tidak seluruhnya bermanfaat
bagi diri mereka serta bagi masa depannya.
Sambil memanfaatkan peluang yang terbuka dari kehidupan berbangsa dan bernegara serta berdunia tersebut di atas, perlu diadakan konsolidasi ke dalam dan diteguhkan jati diri serta identitas kultural Minangkabau sebagai norma moral dan etika sosial kolektif bagi seluruh warga masyarakat Minangkabau, baik yang bermukim di Ranah Minang maupun yang bermukim di Rantau.
Rumusan jati diri dan identitas kultural Minangkabau yang sudah disepakati adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru yang tumbuh, berkembang, dan memasyarakat dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan Minangkabau.
Pengalaman menunjukkan, antara lain di Kabupaten Agam, bahwa ajaran dan moral Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, dapat dijabarkan, ditindaklanjuti, serta diamalkan secara kreatif dalam bidang ekonomi (Baitul Mal wa Tamwil), khususnya untuk memberantas kemiskinan di nagari-nagari.
Demi kepastian rujukan dan sebagai bahan pendidikan kepada generasi muda Minangkabau, serta sebagai pernyataan resmi ke dunia luar, rumusan jati diri serta identitas kultural yang sudah disepakati tersebut perlu dituliskan secara lugas, lengkap, dan mudah difahami, serta disosialisasikan melalui pendidikan kebudayaan secara terus menerus.
Untuk menindaklanjuti pembinaan jati diri serta identitas kultural Minangkabau tersebut di atas, perlu dibentuk sebuah lembaga musyawarah kepemimpinan sosial Minangkabau dengan nama Forum Adat dan Syarak, atau Forum Tungku Tigo Sajarangan
Peneguhan jati diri serta identitas kultural Minangkabau serta pembentukan Forum Adat dan Syarak / Forum Tungku Tigo Sajarangan
tersebut perlu dilakukan dalam bentuk Kesepakatan Kongres Kebudayaan Minangkabau.

MENGINGAT :
Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3), Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tanggal 9 November 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang [Tanah Ulayat].
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.
Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat.
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor …Tahun …Tentang Tanah Ulayat.

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kerjasama Pemerintah Daerah Sumatera Barat dengan Perantau
Minangkabau.
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 08 Tahun 1984 Tentang Pedoman Acara Penyelesaian Sengketa Adat di Lingkungan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat Nomor W.3.DA.04.02-3633 Tanggal 27 Mei 1985 tentang penyelesaian sengketa pusako tinggi agar dilakukan terlebih dahulu melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.
gema minang dirancang pada tahun : 1997.....di akui gema minang dimasyarakat pada tgl.27 NOVEMBER 1999 DAN DIJADIKAN SEBAGAI HARI LAHIRNYA GEMA MINANG.
Badan Informasi Minangcommunity Centre Padang Dan Kutipan Dari DPP GEMA BATAM